Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Senin, 30 Mei 2011

Sejarah dan Wilayah Kota Tangerang


SEJARAH DAN WILAYAH KOTA TANGERANG
A.    A. Proses terbentuknya Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang
Pembangunan Kota Administratif Tangerang secara makro berpijak pada kebijaksanaan pembangunan berdasarkan prioritas tahapan Repelita dimulai sejak Pelita I sampai dengan Pelita V. Selain bertitik tolak dari prioritas tersebut, ada beberapa faktor pendorong dan faktor penarik diantaranya berdasarkan undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 Kota Tangerang ditetapkan sebagai Ibukota Kabupaten, pesatnya pertumbuhan ekonomi yang memungkinkan dapat memperbaiki kualitas kehidupan, masih banyak tersedianya sumber daya alam sehingga dapat menarik investor yang dapat menyerap lapangan kerja baru.

Sedangkan dalam lingkup Jabotabek sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976, Tangerang termasuk wilayah pengembangan Jabotabek yang dipersiapkan untuk mengurangi ledakan penduduk DKI Jakarta, mendorong kegiatan perdagangan dan industri yang berbatasan dengan DKI Jakarta, mengembangkan pusat-pusat pemukiman dan mengusahakan keserasian pembangunan antara DKI Jakarta dengan daerah yang berbatasan langsung.

Pertumbuhan penduduk Kota Administratif Tangerang melaju begitu tinggi. Hal ini terlihat pada data yang dituangkan dalam Rencana Umum Kota Tangerang (Perda Nomor 4 tahun 1985) Kota Administratif tangerang dapat menampung 850.000 jiwa. Menurut sensus tahun 1990 penduduk Kota Administratif Tangerang telah mencapai 921.848 jiwa.

Lonjakan jumlah penduduk disebabkan terutama karena kedudukan dan peranan Kota Tangerang sebagai daerah penyangga DKI Jakarta (hinterland city). Sebagai konsekuensinya, Kota Administratif Tangerang menjadi konsentrasi wilayah pemukiman penduduk dan menjadi tempat kegiatan perdagangan terutama pada sektor industri. Perkembangan sektor perdagangan dan industri di kawasan ini memancing derasnya arus imigrasi sirkuler penduduk. Dilihat dari pertumbuhan penduduk dan dibandingkan dengan jumlah penduduk beberapa Kotamadya di Jawa Barat, Kota Administratif Tangerang jauh lebih tinggi.

Perkembangan perekonomian pada tahun 1989/1990, nilai investasi dari PMA dan PMDN mencapai US $ 1.191.585.352,00 dan nilai Non Fasilitas Industi Kecil Formal berjumlah Rp. 12.860.551.553,99. Perkembangan tersebut didorong pula oleh perkembangan wilayah yakni dengan adanya Pelabuhan Udara Soekarno-Hatta dan Jalan Bebas Hambatan (Jalan Toll, Access Road).

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Administratif Tangerang pada tahun 1991/1992 mencapai Rp. 7.066.500.536,00 dan untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar Rp. 3.284.847.747,74 serta PBB kawasan bandara Soekarno-Hatta sebesar Rp. 1.900.000.000,00.

Melihat indikator pertumbuhan kota dengan faktor pengaruh yaitu faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor), menurut pengelolaan serta pengendalian urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang lebih cepat dan terarah agar pelayanan masyarakat berjalan lebih baik. Dalam hal ini seyogyanya Kota Administratif Tangerang dikembangkan menjadi daerah otonom.
B.     B. Asal Muasal Masyarakat Tangerang
Jika dilihat dari hasil sensus penduduk tahun 1905 dan 1930 terlihat bahwa penduduk Tangerang pada waktu itu sudah terdiri dari berbagai etnik. Namun demikian golongan etnik mana yang menjajakkan kaki terlebih dahulu di bumi Tangerang tidak diketahui dengan pasti.

Secara garis besar hanya dapat digambarkan komposisi penduduk di Tangerang pada awalnya, yaitu terdiri atas etnik Sunda, Jawa, Betawi, Cina, Arab dan Eropa. Pada masa itu kelompok etnik Sunda sebagian besar menempati daerah Tangerang Selatan dan Tangerang Tengah yang meliputi wilayah kecamatan Tangerang, Cikupa, Serpong, Curug, Tigaraksa dan Legok. Menurut kronik sejarah Banten, kedatangan orang Sunda di Tangerang berawal dari keikut sertaan orang-orang Priangan menyerbu Batavia bersama pasukan Mataram, namun setelah usai perang mereka tidak kembali kedaerahnya melainkan minta izin tetap tinggal di Tangerang. Sampai sekarang mereka dapat diidentifikasikan sebagai orang Sunda, selain mereka tetap menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari. Mereka menyebut kampung dimana mereka tinggal dengan nama Sunda seperti Kampung Priangan (sekarang Priang), Lengkong Sumedang dan lain-lainnya.

Kelompok etnik Sunda masa itu pada umumnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan mengusahakan barang-barang kerajinan. Mereka umumnya penganut agama Islam yang taat. Kelompok etnik Betawi sebagian besar menempati wilayah sepanjang perbatasan Batavia seperti wilayah kecamatan Teluknaga, Batuceper, Ciledug dan Ciputat. Pada masa itu mereka hidup sebagai petani yang sekaligus juga pedagang. Barang dagangan yang mereka jual terutama buah-buahan dan sayur-sayuran. Wilayah mereka relatif dekat dengan Batavia sehingga memungkinkan mereka menjual hasil pertanian ke Batavia. Mereka ini juga umumnya pemeluk agama Islam yang sangat taat. Kelompok etnik Jawa menempati wilayah Tangerang Barat Laut dan Tangerang Utara terus menyusur pantai utara pulau Jawa, yang meliputi kecamatan Mauk, Kresek dan Rajeg. Kelompok ini jika dilihat dari segi bahasa diperkirakan berasal dari keturunan sisa-sisa prajurit Mataram. Mereka sehari-hari menggunakan bahasa Jawa dan pada umumnya hidup sebagai petani nelayan.

Kelompok Etnik Cina diperkirakan datang ke Tangerang, bersamaan dengan Belanda yang menduduki dan membangun Batavia. Pembangunan Kota Batavia pada waktu itu membutuhkan sejumlah tenaga tukang sehingga perlu didatangkan imigran-imigran Cina ke Batavia. Selain itu ada pula orang-orang Cina yang telah tinggal di sini sebelum Belanda datang. Mereka hidup sebagai tukang pembuat arak. Arak buatan orang Cina ini sangat disukai awak kapal Belanda. Di sisi lain Kelompok Etnik Cina bukan hanya memberi sokongan tenaga kerja tetapi mereka juga membantu dalam keuangan pajak. Gelombang besar kedatangan kelompok ini terjadi pada pertengahan abad 18 sehingga berakibat banyak pengangguran dan terjadi gangguan keamanan. Pada tahun 1740 timbul pemberontakan Cina di Batavia. Setelah kejadian itu, kelompok etnik ini dilarang tinggal di kota, selain harus tinggal dalam satu perkampungan agar mudah diawasi.

Perkampungan kelompok etnik Belanda sebenarnya merupakan kelompok kecil tetapi menduduki posisi penting, dan kehidupan ekonomi mereka juga lebih baik. Mereka banyak menduduki jabatan tinggi dalam dinas sipil dan militer. Misalnya, waktu itu sebagai direktur dan staf perkebunan. Adapun kelompok yang paling sedikit pada masa itu adalah etnik Arab. Menurut sensus tahun 1905, etnik Arab hanya 20 orang dan sensus tahun 1930 jumlah kelompok meningkat menjadi 185 orang.
C.     Sejarah Singkat Pemerintahan di Tangerang

Nama Tangerang menurut sumber berita tidak tertulis berasal dari kata "Tangeran", kata "Tangeran" dalam bahasa Sunda memiliki arti "tanda". Tangeran di sini berupa tugu yang didirikan sebagai tanda batas wilayah kekuasaan Banten dan VOC, pada waktu itu.

Tangeran tersebut berlokasi dibagian barat Sungai Cisadane (Kampung Grendeng atau tepatnya di ujung jalan Otto Iskandar Dinata sekarang). Tugu tersebut dibangun oleh Pangeran Soegiri, salah satu putra Sultan Ageng Tirtayasa.

Pada tugu tersebut tertulis prasasti dalam huruf Arab gundul dengan dialek Banten, yang isinya sebagai berikut :

Bismillah peget Ingkang Gusti
Diningsun juput parenah kala Sabtu
Ping Gasal Sapar Tahun Wau
Rengsena Perang nelek Nangeran
Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian
Sakebeh Angraksa Sitingsung Parahyang-Titi

Artinya terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Dengan nama Allah tetap Maha Kuasa
Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu
Tanggal 5 Sapar Tahun Wau
Sesudah perang kita memancangkan Tugu
Untuk mempertahankan batas Timur Cipamugas
(Cisadane) dan Barat yaitu Cidurian
Semua menjaga tanah kaum Parahyang

Kemudian kata "Tangeran" berubah menjadi "Tangerang" disebabkan pengaruh ucapan dan dialek dari tentara kompeni yang berasal dari Makasar. Orang-orang Makasar tidak mengenal huruf mati, akhirnya kata "Tangeran" berubah menjadi "Tangerang".

Menurut kajian buku "Sejarah Kabupaten Tangerang" yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang bekerjasama dengan LPPM Unis Tangerang, daerah Tangerang sejak dulu telah mengenal pemerintahan. Cerita pemerintahan ini telah berkembang di masyarakat.

Cerita itu berawal dari tiga maulana yang diangkat oleh penguasa Banten pada waktu itu. Tiga Maulana kemudian mendirikan kota Tangerang itu adalah Yudhanegara, Wangsakara dan Santika. Pangkat ketiga Maulana tersebut adalah Aria.

Pemerintahan kemaulanaan yang menjadi pusat perlawanan terhadap penjajah di Tigaraksa (artinya pemimpin), mendirikan benteng, disepanjang tepi Sungai Cisadane. Kata "Benteng" ini kemudian menjadi sebutan kota Tangerang. Dalam pertempuran melawan VOC, maulana ini berturut-turut gugur satu persatu. Dengan gugurnya para maulana, maka berakhirlah pemerintahan kemaulanaan
di Tangerang. Masyarakat mengangap pemerintahan kemaulanaan ini

C.    Asal-usul Tangerang sebagai Kota Benteng

Untuk mengungkapkan asal-usul tangerang sebagai kota "Benteng", diperlukan catatan yang menyangkut perjuangan. Menurut sari tulisan F. de Haan yang diambil dari arsip VOC,resolusi tanggal 1 Juni 1660 dilaporkan bahwa Sultan Banten telah membuat negeri besar yang terletak di sebelah barat sungai Untung Jawa, dan untuk mengisi negeri baru tersebut Sultan Banten telah memindahkan 5 sampai 6.000 penduduk.

Kemudian dalam Dag Register tertanggal 20 Desember 1668 diberitakan bahwa Sultan Banten telah mengangkat Radin Sina Patij dan Keaij Daman sebagai penguasa di daerah baru tersebut. Karena dicurigai akan merebut kerajaan, Raden Sena Pati dan Kyai Demang dipecat Sultan. Sebagai gantinya diangkat Pangeran Dipati lainnya. Atas pemecatan tersebut Ki Demang sakit hati. Kemudian tindakan selanjutnya ia mengadu domba antara Banten dan VOC. Tetapi ia terbunuh di Kademangan.

Dalam arsip VOC selanjutnya, yaitu dalam Dag Register tertanggal 4 Maret 1980 menjelaskan bahwa penguasa Tangerang pada waktu itu adalah Keaij Dipattij Soera Dielaga. Kyai Soeradilaga dan putranya Subraja minta perlindungan kompeni dengan diikuti 143 pengiring dan tentaranya (keterangan ini terdapat dalam Dag Register tanggal 2 Juli 1982). Ia dan pengiringnya ketika itu diberi tempat di sebelah timur sungai, berbatasan dengan pagar kompeni.

Ketika bertempur dengan Banten, ia beserta ahli perangnya berhasil memukul mundur pasikan Banten. Atas jasa keunggulannya itu kemudian ia diberi gelar kehormatan Raden Aria Suryamanggala, sedangkan Pangerang Subraja diberi gelar Kyai Dipati Soetadilaga. Selanjutnya Raden Aria Soetadilaga diangkat menjadi Bupati Tangerang I dengan wilayah meliputi antara sungai Angke dan Cisadane. Gelar yang digunakannya adalah Aria Soetidilaga I. Kemudian dengan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 April 1684, Tangerang menjadi kekuasaan kompeni, Banten tidak mempunyai hak untuk campur tangan dalam mengatur tata pemerintahan di Tangerang. Salah satu pasal dari perjanjian tersebut berbunyi: "Dan harus diketahui dengan pasti sejauh mana batas-batas daerah kekuasaan yang sejak masa lalu telah dimaklumi maka akan tetap ditentukan yaitu daerah yang dibatasi oleh sungai Untung Jawa atau Tangerang dari pantai Laut Jawa hingga pegunungan-pegunungan sejauh aliran sungai tersebut dengan kelokan-kelokannya dan kemudian menurut garis lurus dari daerah Selatan hingga utara sampai Laut Selatan. Bahwa semua tanah disepanjang Untung Jawa atau Tangerang akan menjadi milik atau ditempati kompeni"

Dengan adanya perjanjian tersebut daerah kekuasaan bupati bertambah luas sampai sebelah barat sungai Tangerang. Untuk mengawasi Tangerang maka dipandang perlu menambah pos-pos penjagaan di sepanjang perbatasan sungai Tangerang, karena orang-orang Banten selalu menekan penyerangan secara tiba-tiba. Menurut peta yang dibuat tahun 1962, pos yang paling tua terletak di muara sungai Mookervaart, tepatnya disebelah utara Kampung Baru. Namun kemudian ketika didirikan pos yang baru, bergeserlah letaknya ke sebelah Selatan atau tepatnya di muara sungai Tangerang.

Menurut arsip Gewone Resolutie Van hat Casteel Batavia tanggal 3 April 1705 ada rencana merobohkan bangunan-bangunan dalam pos karena hanya berdinding bambu. Kemudian bangunannya diusulkan diganti dengan tembok. Gubernur Jenderal Zwaardeczon sangat menyetujui usulan tersbut, bahkan diinstruksikan untuk membuat pagar tembok mengelilingi bangunan-bangunan dalam pos penjagaan. Hal ini dimaksudkan agar orang Banten tidak dapat melakukan penyerangan. Benteng baru yang akan dibangun untuk ditempati itu direncanakan punya ketebalan dinding 20 kaki atau lebih. Disana akan ditempatkan 30 orang Eropa dibawah pimpinan seorang Vandrig(Peltu) dan 28 orang Makasar yang akan tinggal diluar benteng. Bahan dasar benteng adalah batu bata yang diperoleh dari Bupati Tangerang Aria Soetadilaga I.

Setelah benteng selesai dibangun personilnya menjadi 60 orang Eropa dan 30 orang hitam. Yang dikatakan orang hitam adalah orang-orang Makasar yang direkrut sebagai serdadu kompeni. Benteng ini kemudian menjadi basis kompeni dalam menghadapi pemberontakan dari Banten. Kemudian pada tahun 1801, diputuskan untuk memperbaiki dan memperkuat pos atau garnisun itu, dengan letak bangunan baru 60 roeden agak ke tenggara, tepatnya terletak disebelah timur Jalan Besar pal 17. Orang-orang pribumi pada waktu itu lebih mengenal bangunan ini dengan sebutan "Benteng". Sejak itu, Tangerang terkenal dengan sebutan Benteng. Benteng ini sejak tahun 1812 sudah tidak terawat lagi, bahkan menurut "Superintendant of Publik Building and Work" tanggal 6 Maret 1816 menyatakan: "...Benteng dan barak di Tangerang sekarang tidak terurus, tak seorangpun mau melihatnya lagi. Pintu dan jendela banyak yang rusak bahkan diambil orang untuk kepentingannya"
sebagai cikal bakal pemerintahan di Tangerang.
Peta wilayah Kota Tangerang

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites