Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Minggu, 08 September 2013

Menanti Pemimpin Rabbani

Kisah tentang Said bin Amir Al-Jumahi begitu populer. Gubernur Homs, Suriah, pada masa Khalifah Umar bin Khattab itu memang sosok pemimpin yang disegani dan dicintai rakyatnya. Tidak tersisa ruang di hati dan pikirannya kecuali urusan kemajuan rakyat yang dipimpinnya. Tidak heran, Khalifah Umar bin Khattab sangat menaruh hormat kepadanya.
Tidak lama setelah melantik Said menjadi gubernur, Umar berkunjung ke Homs untuk memantau keadaan. Tentu saja kedatangan Umar disambut gembira oleh seluruh penduduk Homs. Mereka lalu bergantian menyalaminya. Tetapi, tiba-tiba Umar dikejutkan dengan pengaduan sejumlah penduduk Homs perihal Said. “Bagaimana dengan gubernur kalian”? tanya Umar. 
“Dia tidak keluar kepada kami kecuali ketika siang sudah naik,” kata salah seorang di antara mereka. “Dia tidak mau menerima tamu di malam hari,” protes orang kedua. “Dia tidak keluar menemui kami sehari dalam setiap bulan,” kata yang lain. 
Sebagai pemimpin yang bijak, Umar kemudian mengklarifikasi semua keluhan kepada Gubernur Said. “Apa jawabanmu, Said?” Said diam sejenak kemudian berkata, “Demi Allah, aku sebenarnya tidak suka mengatakan ini. Tetapi memang harus dikatakan. Keluargaku tidak punya pembantu. Setiap pagi aku menyiapkan adonan, dan menunggunya sampai mengembang untuk aku jadikan roti buat mereka, kemudian aku berwudhu dan keluar menemui masyarakat.”
“Lantas bagaimana penjelasanmu tentang keluhan kedua?” kata Umar. Said menjawab, “Sebenarnya aku juga tidak ingin mengatakan ini. Sesungguhnya aku jadikan siang hari untuk mereka, dan malam hari untuk Allah.”
“Tanggapanmu terhadap keluhan ketiga?” lanjut Umar. “Demi Allah, aku juga malu mengatakan ini. Aku tidak punya pakaian selain yang melekat di tubuhku ini. Karena itu, aku mencucinya sekali dalam sebulan, dan menunggunya sampai kering, baru kemudian aku keluar di sore hari.”
Subhanallah. Mungkinkah masih ada pemimpin di zaman sekarang yang mau dan mampu meneladani sosok Gubernur Said? Kesederhanaannya sungguh luar biasa, kedekatannya dengan umat sukar dicari tandingannya, tetapi dia tetap memiliki jeda waktu untuk berintim dengan Tuhan. Itulah pemimpin hebat dalam arti sebenarnya. Sosok demikian saya sebut sebagai Pemimpin Rabbani. 
Pemimpin Rabbani tidak hanya menjalin relasi baik dengan umat, tetapi juga selalu meluangkan waktu untuk membangun hubungan intim dengan Tuhannya. Hatinya lembut dan gampang tersentuh oleh kondisi umatnya. Sudah pasti, pemimpin yang paling Rabbani adalah Rasulullah SAW, sebagaimana ditegaskan Allah dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 128.
“Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, terasa berat olehnya penderitaan kamu, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagi kamu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS At-Taubah: 128).
Rasulullah memang teladan paling paripurna dalam segala perilaku kehidupan. Sebagaimana pribadi panutan ini, Pemimpin Rabbani tidak akan berani menyakiti hati umat, karena dia tahu bahwa Tuhan pasti marah. Sebaliknya, dia ogah jauh-jauh dari Tuhan, karena dia paham bahwa jauh dari Tuhan akan merugikan umatnya.
Kita susah menemukan sosok pemimpin demikian di zaman modern ini. Di antara seribu orang, boleh jadi hanya ada satu. Setelah kita temukan, sosoknya pasti juga masih kalah populer dengan pemimpin-pemimpin memble yang hanya bermodal tampang dan ketenaran. Media pasti juga kurang tertarik untuk memberitakan kiprah pemimpin yang miskin dana untuk iklan, sekalipun dia sangat inspiratif dan mencerahkan.
Selain itu, Pemimpin Rabbani memang tidak doyan unjuk tampang, meskipun dia selalu mencetuskan terobosan-terobosan brilian. Waktunya habis untuk memikirkan cara memecahkan persoalan keumatan ketimbang berjualan diri lewat iklan. Itulah sebabnya, setiap pikiran, ucapan, dan tindakan Pemimpin Rabbani benar-benar lahir dari ketulusan, bukan dari kepongahan intelektual, apalagi sekadar ingin meraup keuntungan.
Sementara kebanyakan pemimpin kita sekarang hanya sekumpulan orang yang sangat berhasrat untuk menduduki jabatan mapan dan posisi terpandang. Boleh jadi mereka cerdas dalam berolah pikiran dan ucapan, karena memiliki gelar pendidikan. Tetapi mereka minus keautentikan. Terkadang malah sama sekali tidak punya bekal kepemimpinan, tetapi nekat mencalonkan. Sosok demikian jelas tidak akan mampu menjawab persoalan, apalagi dekat dengan umat dan Tuhan.
Semua janji yang diobral ketika mencalonkan menguap begitu saja ketika sudah berhasil menduduki kursi jabatan. Kepemimpinan yang merupakan amanah bukan lagi dianggap sebagai beban, melainkan dirasakan sebagai keberuntungan, sehingga pantas menggelar perayaan dan menerima ucapan selamat dari segenap keluarga dan rekan. Lihatlah fenomena demikian pada setiap pemilihan pemimpin, mulai Pilkades hingga Pilpres. 
Bangsa ini memang sedang dilanda krisis pemimpin harapan. Mereka yang seharusnya dapat berperan mengamankan nasib rakyat justru memiliki andil paling besar dalam mengenyahkan martabat, nyawa, dan harta benda rakyat. Di tengah situasi demikian, kehadiran Pemimpin Rabbani sangat kontekstual diharapkan untuk mengatasi carut marut kondisi politik yang semakin menjadikan bangsa dan negara nelangsa. 
sumber :


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites