Kisah tentang Said bin Amir Al-Jumahi
begitu populer. Gubernur Homs, Suriah, pada masa Khalifah Umar bin Khattab itu
memang sosok pemimpin yang disegani dan dicintai rakyatnya. Tidak tersisa ruang
di hati dan pikirannya kecuali urusan kemajuan rakyat yang dipimpinnya. Tidak
heran, Khalifah Umar bin Khattab sangat menaruh hormat kepadanya.
Tidak
lama setelah melantik Said menjadi gubernur, Umar berkunjung ke Homs untuk
memantau keadaan. Tentu saja kedatangan Umar disambut gembira oleh seluruh
penduduk Homs. Mereka lalu bergantian menyalaminya. Tetapi, tiba-tiba Umar
dikejutkan dengan pengaduan sejumlah penduduk Homs perihal Said. “Bagaimana
dengan gubernur kalian”? tanya Umar.
“Dia
tidak keluar kepada kami kecuali ketika siang sudah naik,” kata salah seorang
di antara mereka. “Dia tidak mau menerima tamu di malam hari,” protes orang
kedua. “Dia tidak keluar menemui kami sehari dalam setiap bulan,” kata yang
lain.
Sebagai
pemimpin yang bijak, Umar kemudian mengklarifikasi semua keluhan kepada
Gubernur Said. “Apa jawabanmu, Said?” Said diam sejenak kemudian berkata, “Demi
Allah, aku sebenarnya tidak suka mengatakan ini. Tetapi memang harus dikatakan.
Keluargaku tidak punya pembantu. Setiap pagi aku menyiapkan adonan, dan
menunggunya sampai mengembang untuk aku jadikan roti buat mereka, kemudian aku
berwudhu dan keluar menemui masyarakat.”
“Lantas
bagaimana penjelasanmu tentang keluhan kedua?” kata Umar. Said menjawab,
“Sebenarnya aku juga tidak ingin mengatakan ini. Sesungguhnya aku jadikan siang
hari untuk mereka, dan malam hari untuk Allah.”
“Tanggapanmu
terhadap keluhan ketiga?” lanjut Umar. “Demi Allah, aku juga malu mengatakan
ini. Aku tidak punya pakaian selain yang melekat di tubuhku ini. Karena itu,
aku mencucinya sekali dalam sebulan, dan menunggunya sampai kering, baru
kemudian aku keluar di sore hari.”
Subhanallah.
Mungkinkah masih ada pemimpin di zaman sekarang yang mau dan mampu meneladani
sosok Gubernur Said? Kesederhanaannya sungguh luar biasa, kedekatannya dengan
umat sukar dicari tandingannya, tetapi dia tetap memiliki jeda waktu untuk
berintim dengan Tuhan. Itulah pemimpin hebat dalam arti sebenarnya. Sosok
demikian saya sebut sebagai Pemimpin Rabbani.
Pemimpin
Rabbani tidak hanya menjalin relasi baik dengan umat, tetapi juga selalu
meluangkan waktu untuk membangun hubungan intim dengan Tuhannya. Hatinya lembut
dan gampang tersentuh oleh kondisi umatnya. Sudah pasti, pemimpin yang paling
Rabbani adalah Rasulullah SAW, sebagaimana ditegaskan Allah dalam Al-Qur’an
surat At-Taubah ayat 128.
“Sungguh
telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, terasa berat olehnya
penderitaan kamu, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagi kamu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS At-Taubah: 128).
Rasulullah
memang teladan paling paripurna dalam segala perilaku kehidupan. Sebagaimana
pribadi panutan ini, Pemimpin Rabbani tidak akan berani menyakiti hati umat, karena
dia tahu bahwa Tuhan pasti marah. Sebaliknya, dia ogah jauh-jauh dari Tuhan,
karena dia paham bahwa jauh dari Tuhan akan merugikan umatnya.
Kita
susah menemukan sosok pemimpin demikian di zaman modern ini. Di antara seribu
orang, boleh jadi hanya ada satu. Setelah kita temukan, sosoknya pasti juga
masih kalah populer dengan pemimpin-pemimpin memble yang hanya bermodal tampang
dan ketenaran. Media pasti juga kurang tertarik untuk memberitakan kiprah
pemimpin yang miskin dana untuk iklan, sekalipun dia sangat inspiratif dan
mencerahkan.
Selain
itu, Pemimpin Rabbani memang tidak doyan unjuk tampang, meskipun dia selalu
mencetuskan terobosan-terobosan brilian. Waktunya habis untuk memikirkan cara
memecahkan persoalan keumatan ketimbang berjualan diri lewat iklan. Itulah
sebabnya, setiap pikiran, ucapan, dan tindakan Pemimpin Rabbani benar-benar
lahir dari ketulusan, bukan dari kepongahan intelektual, apalagi sekadar ingin
meraup keuntungan.
Sementara
kebanyakan pemimpin kita sekarang hanya sekumpulan orang yang sangat berhasrat
untuk menduduki jabatan mapan dan posisi terpandang. Boleh jadi mereka cerdas
dalam berolah pikiran dan ucapan, karena memiliki gelar pendidikan. Tetapi
mereka minus keautentikan. Terkadang malah sama sekali tidak punya bekal
kepemimpinan, tetapi nekat mencalonkan. Sosok demikian jelas tidak akan mampu
menjawab persoalan, apalagi dekat dengan umat dan Tuhan.
Semua
janji yang diobral ketika mencalonkan menguap begitu saja ketika sudah berhasil
menduduki kursi jabatan. Kepemimpinan yang merupakan amanah bukan lagi dianggap
sebagai beban, melainkan dirasakan sebagai keberuntungan, sehingga pantas
menggelar perayaan dan menerima ucapan selamat dari segenap keluarga dan rekan.
Lihatlah fenomena demikian pada setiap pemilihan pemimpin, mulai Pilkades
hingga Pilpres.
Bangsa
ini memang sedang dilanda krisis pemimpin harapan. Mereka yang seharusnya dapat
berperan mengamankan nasib rakyat justru memiliki andil paling besar dalam
mengenyahkan martabat, nyawa, dan harta benda rakyat. Di tengah situasi
demikian, kehadiran Pemimpin Rabbani sangat kontekstual diharapkan untuk
mengatasi carut marut kondisi politik yang semakin menjadikan bangsa dan negara
nelangsa.
sumber :
0 komentar:
Posting Komentar