Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Sabtu, 14 September 2013

Sikap Menghadapi Fitnah dan Tiga Penutupnya

Mungkin di antara kita selama hidup pernah difitnah atau dituduh. Ada yang dituduh sebagai pembohong, egois, tidak punya perasaan, pengkhianat, pencuri, dituduh selingkuh, dikatakan zalim, munafik, sesat, atau tuduhan-tuduhan lainnya. Padahal, termasuk zalim, menuduh dan memfitnah orang lain dengan sesuatu yang tidak dilakukannya. Jika Anda dituduh dan difitnah oleh seseorang, padahal Anda yakin tidak bersalah maka ada delapan sikap yang sebaiknya kita lakukan. 
1)    Hendaklah kita cek dan kita pelajari lagi jangan-jangan yang dituduhkan orang lain itu benar. Jika ternyata kita salah, jangan malu dan gengsi mengakui kesalahan dan mengikuti kebenaran. Meskipun, cara orang yang menasihati kita kasar atau mungkin bermaksud tidak baik. 
2)    Memperbaiki ucapan atau tindakan kita yang menjadi penyebab orang memfitnah kita. Misalnya, bendahara masjid dituduh mencuri uang kas disebabkan tidak transparannya laporan keuangan. Maka, hendaknya dibuat laporan yang rapi dan jelas. Jika seseorang dituduh "nakal" karena sering bergaul dengan orang-orang "nakal", selektiflah dalam memilih sahabat. 
3)    Ingatlah akan aib dan dosa kita. Syekh Salim Al Hilali berkata, “Kalau Anda bersih dari kesalahan yang dituduhkan itu, tapi sejatinya Anda tidak selamat dari kesalahan-kesalahan lain karena sesungguhnya manusia itu memiliki banyak kesalahan. Kesalahanmu yang Allah tutupi dari manusia jumlahnya lebih banyak. Ingatlah akan nikmat Allah ini di mana Ia tidak perlihatkan kepada si penuduh kekurangan-kekuranganmu lainnya ….” (Dinukil dari buku Ar Riyaa halaman 68)
4)    Hendaklah kita merenung dan mengevaluasi kesalahan dan dosa-dosa kita. Baik yang berhubungan dengan muamalah antara manusia, maupun dosa-dosa antara kita dengan Allah. Tuduhan dan fitnahan bisa jadi merupakan teguran agar kita kembali dan bertobat kepada Allah. 
5)    Jika kita sabar dan ikhlas, semoga tuduhan dan fitnahan ini dapat mengurangi/menghapus dosa, menambah pahala, dan meningkatkan derajat kita di sisi-Nya.
6)    Doakanlah si penuduh agar Allah memberi petunjuk. Jika memungkinkan, nasihatilah dia secara langsung maupun melalui sindiran agar dia bisa sadar dan bertobat. Maafkan dia, tapi kita boleh membalas untuk suatu kemaslahatan asalkan tidak melampaui batas. (Lihat surah Asy Syuuraa 40-43). Jika terpaksa, doakanlah keburukan untuk si zalim agar ia menjadi sadar dan bertobat.
7)    Shalat istikharah untuk meminta bimbingan Allah cara yang tepat mengklarifikasi atau membela diri. Meladeni dan membantah terkadang justru membuka pintu keburukan untuk kita. Bisa jadi, klarifikasi tanpa menyebutkan tentang tuduhan mengenai dirinya dan tanpa menyebutkan nama penuduh akan banyak memberikan manfaat untuk umat.
8)    Yakinlah musibah tuduhan merupakan kebaikan untuk Anda. Si penuduh yang merugi karena dia telah melakukan kejahatan dan berhak memperoleh azab-Nya. Allah berfirman, “…. Janganlah kamu mengira berita (bohong) itu buruk bagi kamu, bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapatkan dosa yang diperbuatnya ….” (Surah an Nuur 11).
“Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang lengah dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan akhirat, dan mereka akan mendapat azab yang besar.” (Surah an Nuur 23). Semoga kita menjadi orang yang takut kepada Allah dengan tidak mudah menuduh orang lain tanpa bukti dan dapat menyikapi dengan bijaksana saat mendapat fitnah
Bentuk masdhar (kata benda) dari lapaz ‘fitnah’ dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 35 kali dengan berbagai maknanya.
Misalnya, fitnah yang bermakna siksa atau azab di dalam api neraka bagi musuh-musuh Allah (QS.Az-Zariyat [51]: 10-14);  penangguhan siksa dan luput dari pencegahannya ke atas orang yang berbuat zhalim (QS. al-Anbiya [21]:111); dan fitnah yang bermakna ibtila (ujian) dengan dengan kemaksiatan sehingga nampak jelas orang yang taat kepada Allah dengan menjauhi kemaksiatan tersebut. (QS. Al-Baqarah [2]:102).
Dan di antara makna fitnah lainnya yang dijelaskan dalam al-Qur’an adalah ibtila (ujian) dengan kesulitan-kesulitan urusan dunia untuk mengukur tingkat kesabaran seseorang atas takdir yang Allah tetapkan. (QS. al-Hajj [22]: 11). 
Demikian pula sebaliknya, fitnah yang bermakna ujian dengan perkara-perkara yang mubah atau  kenikmatan, seperti firman Allah SWT, “Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya harta-harta dan anak-anak kamu sekalian itu adalah fitnah atau ujian, dan sesungguhnya di sisi Allah adalah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal [8]: 28). 
Dari makna-makna fitnah yang disebutkan dalam al-Qur’an di atas menunjukkan kepada satu pengertian sentral, bahwa kebaikan dan keburukan, kedua-duanya merupakan fitnah, ibtila dan ikhtibar (ujian) bagi  segenap anak Adam.
“Tiap-tiap jiwa yang bernyawa akan merasakan maut (kematian). Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai bentuk fitnah atau cobaan (apakah sabar atau tidak). Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya [21]:35) 
Masalahnya sekarang, bagaimana kita bisa berhasil lolos dan selamat dari segala bentuk ujian yang Allah berikan kepada kita. Ketika Allah menganugerahkan keluarga atau keturunan, maka mampu kita membina, membimbing dan mengawal diri beserta keluarga kita tersebut di jalan Islam yang Allah ridhai sehingga kelak terbebas dari sentuhan api neraka. (QS. At-Tahrim [66]:6)
Ilmu, harta dan kedudukan yang selama ini sudah diperoleh, apakah benar-benar sudah dibingkai dengan nilai-nilai spiritualitas dan ihsaniyah. Dengan kata lain, memfungsikannya di jalan Allah, memberi makan dan pakaian kepada orang-orang miskin, membela kaum lemah, meninggikan agama Allah dan amal-amal kebajikan lainnya.


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites