Mungkin
di antara kita selama hidup pernah difitnah atau dituduh. Ada yang dituduh
sebagai pembohong, egois, tidak punya perasaan, pengkhianat, pencuri, dituduh
selingkuh, dikatakan zalim, munafik, sesat, atau tuduhan-tuduhan lainnya.
Padahal, termasuk zalim, menuduh dan memfitnah orang lain dengan sesuatu yang
tidak dilakukannya. Jika Anda dituduh dan difitnah oleh seseorang, padahal Anda
yakin tidak bersalah maka ada delapan sikap yang sebaiknya kita lakukan.
1)
Hendaklah kita cek dan
kita pelajari lagi jangan-jangan yang dituduhkan orang lain itu benar. Jika
ternyata kita salah, jangan malu dan gengsi mengakui kesalahan dan mengikuti
kebenaran. Meskipun, cara orang yang menasihati kita kasar atau mungkin bermaksud
tidak baik.
2)
Memperbaiki ucapan atau
tindakan kita yang menjadi penyebab orang memfitnah kita. Misalnya, bendahara
masjid dituduh mencuri uang kas disebabkan tidak transparannya laporan
keuangan. Maka, hendaknya dibuat laporan yang rapi dan jelas. Jika seseorang
dituduh "nakal" karena sering bergaul dengan orang-orang
"nakal", selektiflah dalam memilih sahabat.
3)
Ingatlah akan aib dan dosa
kita. Syekh Salim Al Hilali berkata, “Kalau Anda bersih dari kesalahan yang
dituduhkan itu, tapi sejatinya Anda tidak selamat dari kesalahan-kesalahan lain
karena sesungguhnya manusia itu memiliki banyak kesalahan. Kesalahanmu yang
Allah tutupi dari manusia jumlahnya lebih banyak. Ingatlah akan nikmat Allah
ini di mana Ia tidak perlihatkan kepada si penuduh kekurangan-kekuranganmu
lainnya ….” (Dinukil dari buku Ar Riyaa halaman 68)
4)
Hendaklah kita merenung
dan mengevaluasi kesalahan dan dosa-dosa kita. Baik yang berhubungan dengan
muamalah antara manusia, maupun dosa-dosa antara kita dengan Allah. Tuduhan dan
fitnahan bisa jadi merupakan teguran agar kita kembali dan bertobat kepada
Allah.
5)
Jika kita sabar dan
ikhlas, semoga tuduhan dan fitnahan ini dapat mengurangi/menghapus dosa,
menambah pahala, dan meningkatkan derajat kita di sisi-Nya.
6)
Doakanlah si penuduh agar
Allah memberi petunjuk. Jika memungkinkan, nasihatilah dia secara langsung
maupun melalui sindiran agar dia bisa sadar dan bertobat. Maafkan dia, tapi
kita boleh membalas untuk suatu kemaslahatan asalkan tidak melampaui batas.
(Lihat surah Asy Syuuraa 40-43). Jika terpaksa, doakanlah keburukan untuk si
zalim agar ia menjadi sadar dan bertobat.
7)
Shalat istikharah untuk
meminta bimbingan Allah cara yang tepat mengklarifikasi atau membela diri.
Meladeni dan membantah terkadang justru membuka pintu keburukan untuk kita.
Bisa jadi, klarifikasi tanpa menyebutkan tentang tuduhan mengenai dirinya dan
tanpa menyebutkan nama penuduh akan banyak memberikan manfaat untuk umat.
8)
Yakinlah musibah tuduhan
merupakan kebaikan untuk Anda. Si penuduh yang merugi karena dia telah
melakukan kejahatan dan berhak memperoleh azab-Nya. Allah berfirman, “….
Janganlah kamu mengira berita (bohong) itu buruk bagi kamu, bahkan itu baik
bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapatkan dosa yang diperbuatnya ….”
(Surah an Nuur 11).
“Sungguh,
orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang lengah dan beriman
(dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan akhirat, dan mereka akan
mendapat azab yang besar.” (Surah an Nuur 23). Semoga kita menjadi orang yang
takut kepada Allah dengan tidak mudah menuduh orang lain tanpa bukti dan dapat
menyikapi dengan bijaksana saat mendapat fitnah
Bentuk masdhar (kata benda) dari lapaz ‘fitnah’ dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 35 kali dengan berbagai maknanya.
Misalnya, fitnah yang bermakna siksa
atau azab di dalam api neraka bagi musuh-musuh Allah (QS.Az-Zariyat [51]:
10-14); penangguhan siksa dan luput dari pencegahannya ke atas orang yang
berbuat zhalim (QS. al-Anbiya [21]:111); dan fitnah yang bermakna ibtila
(ujian) dengan dengan kemaksiatan sehingga nampak jelas orang yang taat kepada
Allah dengan menjauhi kemaksiatan tersebut. (QS. Al-Baqarah
[2]:102).
Dan di antara makna fitnah lainnya yang
dijelaskan dalam al-Qur’an adalah ibtila (ujian) dengan kesulitan-kesulitan
urusan dunia untuk mengukur tingkat kesabaran seseorang atas takdir yang Allah
tetapkan. (QS. al-Hajj [22]: 11).
Demikian pula sebaliknya, fitnah yang bermakna
ujian dengan perkara-perkara yang mubah atau kenikmatan, seperti firman
Allah SWT, “Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya harta-harta dan anak-anak kamu
sekalian itu adalah fitnah atau ujian, dan sesungguhnya di sisi Allah adalah
pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal [8]: 28).
Dari makna-makna fitnah yang disebutkan
dalam al-Qur’an di atas menunjukkan kepada satu pengertian sentral, bahwa
kebaikan dan keburukan, kedua-duanya merupakan fitnah, ibtila dan ikhtibar
(ujian) bagi segenap anak Adam.
“Tiap-tiap jiwa yang bernyawa akan merasakan maut (kematian).
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai bentuk fitnah atau
cobaan (apakah sabar atau tidak). Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada
Kami.” (QS. Al-Anbiya [21]:35)
Masalahnya sekarang, bagaimana kita bisa berhasil lolos dan
selamat dari segala bentuk ujian yang Allah berikan kepada kita. Ketika Allah menganugerahkan keluarga
atau keturunan, maka mampu kita membina, membimbing dan mengawal diri beserta
keluarga kita tersebut di jalan Islam yang Allah ridhai sehingga kelak terbebas
dari sentuhan api neraka. (QS. At-Tahrim [66]:6)
Ilmu, harta dan kedudukan yang selama ini sudah diperoleh,
apakah benar-benar sudah dibingkai dengan nilai-nilai spiritualitas dan
ihsaniyah. Dengan kata lain, memfungsikannya di jalan Allah, memberi makan dan
pakaian kepada orang-orang miskin, membela kaum lemah, meninggikan agama Allah
dan amal-amal kebajikan lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar