Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Minggu, 29 Mei 2011

Politik Hukum

DIMENSI POLITIK HUKUM
DALAM MENSYAR’IKAN UNDANG-UNDANG DI INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Dimensi ilmu hukum hakikatnya amat luas. Diibaratkan sebuah ‘pohon”, hukum adalah sebuah pohon besar dan rindang yang terdiri akar, daun, ranting, dahan, batang dan buah. Karena begitu lebatnya hukum tersebut dapat dikaji perspektif asasnya, sumbernya, pembedaaannnya, penggolongannya, dan lain sebagainya. Apabila dikaji dari perspektif penggolongannya hukum yang diklasifikasian berdasarkan sumbernya, bentuknya, isinya, tempat berlakunya, masa berlakunya, cara mempertahankannya, sifatnya dan berdasarkan wujudnya.
Dikaji dari perspektif pembagian hukum berdasarkan isimya maka dikenal klasifikasi hukum publik dan hukum privat. Lebih lanjut, menurut ketentuan doktrin ketentuan hukum publik merupakan yang mengatur ketentuan kepentingan umum (algemene blangen) sedangkan ketentuan hukum privat mengatur kepentingan perorangan (bezondere belangen) . Ditinjau dari aspek fungsinya maka salah ruang lingkup hukum publik adalah hukum pidana yang secara esensial dapat dibagi menjadi hukum pidana materiil (matereel strafrecht) dan hukum pidana formal (formeel strafrecht) sedangkan hukum privat dapat dibagi menjadi menjadi hukum perdata formil dan hukum perdata materiil.
Lord Radcliffe, dalam “The Law and Its Compass” (1961) mengatakan:
“you will not mistake my meaning or suppose that I depreciate one
of the great humane studies of I say that we cannot learn law by
learning law. If it is to be anything more that just a technique it is to
be so much more than it self : a part of history, a part of economics
and sociology, a part of ethicks and a philosophy of life.”

Jadi ilmu hukum itu bagian dari sejarah, bagian dari ekonomi dan sosiologi, bagian dari etika dan falsafah hidup bangsa. Erman Rajagukguk berpendapat bagi Indonesia tidak mungkin diciptakan atau disusun satu ilmu hukum Indonesia yang uniform karena alasan sejarah, pluralisme masyarakat. Indonesia dan Indonesia bagian dari masyarakat global.
Sunaryati Hartono mengemukakan Hukum itu merupakan tujuan, akan tetapi hanya merupakan jembatan, yang harus membawa kita kepada ide-ide yang dicita-citakan.
Negara Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam dan merupakan salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sehingga wajar kalau negara ikut campur dan memiliki berbagai kepentingan untuk mengatur hajat hidup penduduk muslim, ternyata upaya tersebut tidak mudah mengingat Indonesia merupakan negara dengan penduduk heterogen dengan berbagai macam budaya dan bekas jajahan Belanda yang turut andil dalam menghambat pengembangan Hukum Islam di Indonesia.
Syariat Islam atau hukum Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik umat Islam maupun non Islam. Selain berisi hukum dan aturan, Syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebahagian penganut Islam, Syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini.
Hukum diperlukan untuk menata sebuah pemerintahan yang bersih, dan sebaliknya pemerintahan yang bersih merupakan pemerintahan yang menegakan supermasi hukum sebagai pedoman dalam menjalankan amanat dan kehendak rakyat yang berlangsung secara konstitusional. Oleh sebab hukum harus sejalan dengan kondisi sosial budaya dan ekonomi rakyat dalam negara tersebut sehingga disinilah negara berkepentingan dalam menerapkan hukum dengan mempertimbangkan juga kaum minoritas tanpa membeda-bedakan SARA, akan tetapi negara harus memperhatikan kaum muslimin yang merupakan penduduk terbesar di Indonesia.
Hal serupa yang terjadi dan perlu dicermati adalah berkembangnya masyarakat dan dinamikanya menuntut adanya reformasi di segala bidang, terutama pada bidang pelayanan publik oleh para birokrat yang merupakan pokok dari upaya memajukan pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Pemerintah sebagai pelaksana Undang-undang harus mampu menjalankan amanah konstitusi demi menciptakan perubahan yang positif dalam pembangunan.
B. Perumusan Masalah
Negara Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam akan tetapi dalam menerapkan Hukum Islam tidak bisa dijalankan sepenuhnya dan banyak aral melintang yang menjadi hambatan terbentuknya Hukum Islam di Indonesia. Peran ekesekutif, legislatif dan yudikatif sangat diperlukan untuk pembentukan dan menerapkan Hukum Islam di Indonesia walaupun tidak secara kaffah (menyeluruh) minimal hukum Islam diterapkan secara bertahap dengan tahapan-tahapan rasional terhadap umat Islam di Indonesia. Undang-Undang yang mana merupakan landasan awal dan dasar dalam pembentukan dan dasar hukum Islam tidaklah mudah dalam pembentukannya di Indonesia sebagai contoh pembentukan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peadilan Agama tidaklah mudah terbentuk banyak pihak yang berusaha menggagalkan terbentuknya Undang-Undang tersebut dengan alasan dan berbagai kepentingan. Dari berbagai macam masalah diatas beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini :
1. Bagaimana dimensi politik hukum dalam pembentukan Hukum Islam?
2. Bagaimana upaya mensyari’kan Undang-Undang di Indonesia?

C. Politik Hukum Dalam Pembentukan Hukum Islam.
Dalam perspektif etimologis, politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata rechts dan politiek. Dalam bahasa Indonesia kata Recht berarti hukum, kata hukum berasal dari kata arab hukm (kata jamaknya ahkam) yang berari putusan (judgement, verdict, decision), ketetapan (provision), perintah (command), pemerintah (governant), kekuasaan (authority, power), hukuman (sentence). Adapun dalam kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh Vander Tas, kata politiek mengandung arti beleid. Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berati kebijakan (policy). Dari penjelasan itu bisa dikatakan bahwa politik hukum secara singkat adalah kebijakan hukum, adapun kebijakan sendiri dalam kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rangkaian, konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam melaksanakan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. Dengan kata lain politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksaaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam bidang hukum.
Dalam perspektif terminologis, LJ. van Appeldoorn dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum menyebut dengan istilah politik perundang-undangan. Pengertian yang demikian dapat dimengerti mengingat bahwa di Belanda hukum dianggap identik dengan undang-undang; hukum kebiasaan tidak tertulis diakui juga akan tetapi hanya apabila diakui oleh Undang-undang. Politik hukum juga dikonsepsi sebagai kebijaksanaan negara untuk menerapkan hukum.
Padmo Wahjono mengatakan politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun dari isi hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang menjadi kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dengan demikian, politik hukum menurut padmo wahyono berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa datang (ius constituendum).
Teuku Muhammad Radhie mengkonsepsi politik hukum sebagai pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah suatu Negara dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan. Konsepsi lain tentang politik hukum dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara yang menyatakan bahwa politik hukum sama dengan politik pembangunan hukum. Pendapat Abdul Hakim Garuda Nusantara berikutnya diikuti oleh Moh. Mahfud MD yang menyebutkan bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia. Legal policy ini terdiri dari: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan.
Dalam literatur kitab-kitab ulama salaf, para pakar Hukum Islam tidak menggunakan istilah kata Hukum Islam,yang biasa dipergunakan adalah syariat Islam. Hukum syara, Fiqh, syariat dan Syara. Kata hukum Islam baru muncul ketika para orientalis barat mulai mengadakan penelitian terhadap ketentuan syariat isla dengan term ‘Islamic law’ yang secara harfiah disebut Hukum Islam.
Para ahli masih berbeda pendapat dalam memberi arti Hukum Islam, sebagian mengartikan Hukum Islam merupakan pedoman moral, bukan hukum dalam pengertian hukum modern. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Khalid bin Mas’ud bahwa hukum Islam itu adalah “a system of ethical or moral rules”. Hal ini sesuai dikemukakan oleh Joseph schacht bahwa tujuan Muhammad ditunjuk menjadi nabi bukan menciptakan suatu sistem hukum baru, melainkan mengajar manusia untuk bertindak, apa yang harus dilakukan, apa yang harus ditinggalkan agar selamat pada hari pembalasan dan bagaimana cara agar masuk surga.begitu juga dikemukakan oleh Asaf A.A. Fyzee bahwa Hukum Islam tidak lain common of Law yakni keseluruhan dari perintah-perintah tuhan yang meliputi seluruh tindak tanduk manusia. Jadi hukum Islam itu tidak dapat dikatakan hukum dalam arti Hukum modern.
Disamping pemikiran seperti dikemukan diatas, sebagian ahli hukum lain menyatakan hukum Islam adalah hukum dalam tatanan modern. Hal ini dapat dilihat bahwa muatan yang terdapat dalam hukum Islam mampu menyelesaikan segala persoalan dalam masyarakat yang tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun yang lalu. Hukum ini dapat memenuhi aspirasi masyarakat bukan hanya masa kini tetapi juga dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam mengganti pertumbuhan ekonomi, politik dan sosial sekarang maupun yang akan datang.
Amin Syarifudin mengemukakan, pengertian Hukum Islam. Perlu lebih dahulu kata ‘hukum’ dalam Bahasa indonesia dan kemudian kata hukum itu disandarkan kepada “Islam”. Pengertian “hukum’ secara sederhana adalah seperangakat peraturan tentang tingkah laku yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya. Bila kata hukum digabung dengan kata Islam atau syara maka hukum Islam berarti seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rosul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua manusia yang beragama Islam.
Hasbi Ash Shiddieqie mengemukakan bahwa hukum Islam memiliki tiga karakter yang merupakan ketentuan yang tidak berubah, yaitu :
1. Takammul yaitu sempurna, bulat dan tuntas.maksudnya bahwa Hukum Islam membentuk umat dalamsegala ketentuan yang bulat, walaupun berbeda-beda bangsa dan berlainan suku tetapi mereka satu kesatuan tidak terpisahkan, utuh harmoni, dan dinamis.
2. Wasathiyah (harmoni) yakni Hukum Islam menempuh jalan tengah, jalan yang seimbang dan tidak memihak sebelah. Hukum Islam selalu menyelaraskan diantara kenyataan dan fakta dengan ideal dan cita-cita.
3. Harakah (dinamis). Yakni Hukum Islam yakni memiliki kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup dan membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Hukum Islam terpencar dari sumber yang luas dan dalam, yang memberikan kepada manusia sejumlah hukum positif dan dapat dipergunakan setiap tempat dan waktu.
Indonesia merupakan negara dengan kondisi masyarakat yang pluralistik dan heterogen serta menghendaki masyarakat yang seimbang, maka setiap masalah dan kebijaksanaan hukum perlu diteliti kasus demi kasus, sehingga penyemarataan bagi semua kasus hukum, apalagi bagi semua daerah hukum dan bidang hukum akan mengaakibatkan ketidakadilan.
Dalam mengakomodir setiap kepentingan di seluruh wilayah Republik Indonesia dan lapisan masyarakat Indonesia yang pluralistik yang heterogen dibutuhkan Hukum Islam untuk mengakomodir penduduk Indonesia beragama Islam dengan tetap memperhatikan yang minoritas sehingga tidak terjadi suatu konflik secara horizontal antara masyarakat.
Politik hukum nasional adalah kebijakan dasar penyelenggara negara (Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Dari pengertian tersebut ada lima agenda yang dicita-citakan dalam politik hukum nasional, yaitu (1) masalah kebijakan dasar yang meliputi konsep dan letak; (2) penyelenggara negara pembentuk kebijakan dasar tersebut; (3) materi hukum yang meliputi hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku;(4) proses pembentukan hukum; (5) tujuan politik hukum nasional.
Dalam kosideran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dikemukakan :
a. bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan;
b. bahwa untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukanan peraturan perundang-undangan, maka negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan;
Dan juga dikemukakan dalam Pasal 53 Undang-Undang tersebut memberi amanat kepada pemerintah akan kepentingan orang-orang yang diluar garis pemerintahan yaitu :
Pasal 53
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pernbahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.

Tujuan penegakan hukum tidak bisa dilepas dari hidup bernegara dan bermasyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup masyarakat itu sendiri, yakni keadilan (juctice), dengan demikian penegakan hukum yang berkeadilan dimaksudkan untuk mewujudkan kebahagian dan kesejahteraan lahir dan batin dalam kehidupan bersama.
Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah religios nation state, bukan negara agama (yang menganut satu agama tertentu), dan bukan negara sekuler (yang hampa agama). Indonesia adalah negara kebangsaan yang religius yang menjadaikan agama sebagai dasar moral dan sumber hukum materiil dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakatnya. Dalam bidang hukum negara Pancasila menggariskan empat kaidah penuntun hukum nasional. Pertama, hukum-hukum di Indonesia harus menjamin integrasi atau keutuhan bangsa dan karenanya tidak boleh ada hukum yang diskriminatif berdasarkan ikatan primordial. Kedua, hukum harus diciptakan secara demokratis dan nomokratis berdasarkan hikmah kebijaksanaan. Pembuataanya harus menyerap dan melibatkan aspirasi rakyat dan dilakukukan dengan cara hukum atau prosedural dan fair. Ketiga, hukum harus mendorong terciptanya keadilan sosial. Keempat, tidak boleh ada hukum publik (mengikat komunitas yang ikatan primordialnya beragam) yang didasarkan pada ajaran agama tertentu sebab negara Hukum Pancasila mengharuskan tampilnya hukum yang menjamin toleransi hidup beragama yang beradab. Dalam konsepsi demikian, syariat Islam (sampai pada hukum dan fiqihnya) dapat menjadi sumber hukum bersama dengan sumber-sumber lainnya yang sudah lama hidup sebagi kesadaran hukum masyarakat Indonesia.

D. Upaya Mensyar’ikan Undang-Undang di Indonesia
Pensyar’ian peraturan perundang-undangan sesungguhnya bukan hal baru dalam percaturan politik hukum di Indonesia. Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 memberi peluang untuk melakukan itu. Hanya, upaya pensyar’ian itu tidak segampang yang dibayangkan orang. banyak Perda berlabel syariah yang kurang strategis, sebenarnya belum prioritas dan bertentangan dengan sistem hukum nasional, beberapa hal yang harus diperhatikan jika ingin mensyar’ikan peraturan perundang-undangan. Bila hal ini diabaikan, bukan hanya mendapat pertentangan dari masyarakat, peraturan perundang-undangan itu juga dapat dibatalkan melalui uji materiil di Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Jika bertentangan dengan konstitusi dapat dilakukan judicial review MK dan jika bertentangan dengan Undang-Undang dapat di-judicial review di Mahkamah Agung.
Untuk mensyar’ikan peraturan perundang-undangan, hal pertama yang harus jadi perhatian ialah sistem hukum yang berlaku di negeri ini. UUD 1945 hasil amandemen, khususnya pasal-pasal mengenai hak asasi manusia, adalah tolok ukur utama. Setelah itu adalah UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Saat ini semua produk hukum di Indonesia harus memperhatikan HAM, kesetaraan gender dan anti diskriminasi, Hal kedua yang harus diperhatikan ialah nilai yuridis keagamaan. “Apakah masalah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan itu bersifat fiqhiyah yang ijtihadiyah atau sudah menjadi bagian integral dari fondasi agama,. Satu hal lagi yang mesti diperhatikan ialah nilai sosiologis. “Apakah secara prioritas sudah dibutuhkan masyarakat atau belum,. Sebagai contoh Sebuah daerah membuat Perda tentang pakaian yang islami. Seluruh pegawai muslimah di daerah itu diharuskan mengenakan rok panjang. Pegawai muslimah yang mengenakan celana panjang mendapat teguran. “Aturan ini tidak pas karena para pegawai itu kebanyakan berangkat kerja naik sepeda motor. Kalau disuruh pakai rok panjang, tentu jadi repot,” . hal ini dikemukakan oleh Mukhtar Zamzami.
Meski mensyar’ikan peraturan perundang-undangan memerlukan jalan berliku, akademisi dan praktisi syariah tidak boleh pesimis. Peluang itu tetap terbuka dengan cara-cara damai dan tidak melakukan kekerasan.
Akan tetapi upaya tersebut tidaklah mudah, masih kuatnya pengaruh Teori Receptie yang dibawa oleh Snouk Hurgronje memulai dengan pkiran baru tentang Hukum Islam yang mengemukakan bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Adat asli dan didalam Hukum Adat itu memang masuk sedikit-dikit pengaruh Hukum Islam. Lebih lanjut menngemukakan bahwa Hukum Islam baru mempunyai kekuatan hukum kalau sudah diiterima Hukum Adat, jika Hukum Islam diberlakukan maka hukum tersebut tidak dinamakan Hukum Islam tapi Hukum adat. Paham ini memang keliru tetapi tampaknya kekeliruan itu disengaja dalam rangka sistematis melelemahkan hukum Islam di Indonesia.
Pengembosan opini melalui jalur agama, budaya dan Hak Asasi Manusia (HAM) selalu mencoba memberangus keberadaan Hukum bila dijadikan Undang-Undang. Penundingan dan fitnah yang dilontarkan kepada para pemikir dan ahli hukum Islam cenderung memojokan akan kehendak berdirinya Negara Islam di Indonesia ini.
Hal ini mengemuka ketika akan disahkannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Sehingga hal tersebut memicu pro kontra sebagaimana munculnya kontraversi terhadap dengan dihembuskannya Islamisasi hukum pidana Indonesia. Penolakan terhadap RUU KUHP sama gencarnya dengan penolakan UU Pornografi tersebut.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ide awal dari pembentukan UU Pornografi berasal dari usulan Majelis Ulama Indonesia (MUI) khusus pada Komisi Hukum Dan Politik Wanita Islam Pusat. Dapat pula dipahami akan kekhawatiran pandangan dari golongan yang kontra terhadap Undang-Undang tersebut.
Rocky Marbun mengemukakan Kondisi tersebut terbentuk dikarenakan adanya beberapa permasalahan yang menjadi penyebab, yaitu antara lain:
1. Perubahan Nilai-Nilai Dalam Masyarakat
Mengapa dalam kurun waktu sekian puluh tahun masyarakat mengalami perubahan dalam mempertahankan norma-norma yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri?
Menurut Dr. Soerjono Soekanto, SH, MA, beliau mengatakan perubahan-perubahan sosial yang di dalam suatu masyarakat dapat terjadi oleh karena bermacam-macam sebab. Sebab-sebab tersebut dapat berasal dari masyarakat itu sendiri (intern) muapun dari luar masyarakat (ekstern). Sebagai sebab-sebab intern antara lain dapat disebutkan misalnya pertambahan penduduk; penemuan-penemuan baru; pertentangan (conflict); atau mungkin karena terjadinya suatu revolusi. Sebab-sebab ekstern dapat mencakup sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik, pengaruh kebudayaan lain, peperangan dan seterusnya. Suatu perubahan dapat terjadi dengan cepat apabila suatu masyarakat lebih sering terjadi kontak komunikasi dengan masyarakat lain, atau telah mempunyai sistem pendidikan yang maju.
Dikarenakan terdapatnya perubahan norma-norma sosial dalam masyarakat sehingga ketentuan-ketentuan yang termuat di peraturan perundang-undangan dengan mengkaitkan norma sosial sebagai indikasi adanya pelanggaran hukum sudah tidak dapat menjerat para pelaku tindak pidana pornografi.
Sehingga betapa tepatnya ungkapan oleh Syekh Muhammad Al-Ghozali, yang mengatakan bahwa “Jika kita telah sepakat bahwa TBC adalah penyakit, tentulah kita tidak akan berselisih tentang sebab-sebab penularannya. Demikian pula jika kita telah sepakat bahwa zina adalah perbuatan keji, tentulah kita tidak akan berselisih tentang pencegahan semua bentuk pamer aurat (tabarruj) dan propaganda ke arahnya yang akan menyebabkan terjadinya perzinaan tersebut.
2. Pemahaman Yang Keliru Terhadap Hukum Islam
Adanya pemahaman yang keliru terhadap hukum Islam sehinga sering kali umat Islam sendiri menjadi penentang akan diterapkannya konsep hukum Islam ke dalam Sistem Hukum di Indonesia.
Dalam menyampaikan maksud dan kehendak dari sistem hukum Islam tidak dapat hanya menggunakan pendekatan fiqh semata namun juga harus melalui pendekatan fiqh dakwah. Maka tidak heran bila masyarakat Indonesia yang mayoritas umat Islam pun menolak adanya konsep hukum Islam.
Wajah yang ditampilkan terhadap hukum Islam sebagi contoh dalam hukum pidana semata yang selalu berkaitan dengan rajm, cambuk dan hukuman mati. Namun tidak pernah diungkapkan secara lugas dan transparan mengenai hikmah-hikmah di balik pemidanaan tersebut.
Al Qur’an sebagai kitab petunjuk untuk seluruh manusia maka Al-Qur'an sudah pasti memuat prinsip-prinsip hukum yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan budaya masyarakat itu sendiri. Adanya prinsip yang dibangun oleh al-Qur'an mengindikasikan bahwa tidak semua kasuistik yang terjadi dapat diserap melalui pernyataan-pernyataan ayat.
3. Perbedaan Mahzab Di Dalam Islam
Permasalahan pelik yang sering kali terjadi sehingga terjadi pergesekan di dalam masyarakat Islam khususnya di Indonesia, adalah selalu berkaitan dengan kepada Mahzab mana ia menundukkan dirinya dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Sehingga perbedaan tersebut tentu pada akhirnya akan pula menimbulkan kendala yang cukup serius.
Sungguh suatu pelajaran yang berharga bagi kita semua apabila kita memperhatikan bersama dengan apa yang telah terjadi pasca-kemenangan Afghanistan terhadap penjajahan (Uni Sovyet) yang melanda negerinya selama berabad-abad.
Tarik ulur mengenai Mahzab mana yang akan diterapkan ke dalam konstitusi mereka akhirnya justru melemahkan mereka sendiri dalam bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Ketaatan dan ketertundukan terhadap suatu Mahzab secara tak sadar menyeret suatu kaum pada pengikaran akan ketaatan dan ketertundukan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Empat Imam Mahzab (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal) telah melarang pengikut mereka untuk bertaqlid kepada mereka, dan mereka mengecam orang yang mengambil pendapat mereka tanpa didasarkan kepada hujjah (dalil) yang nyata. Imam Syafi’i berkata: “Perumpamaan orang yang menuntut ilmu pengetahuan tanpa didasarkan kepada hujjah laksana orang yang mencari kayu bakar di malam hari, dimana dia membawa ikatan kayu bakar yang didalamnya ada ular yang berbisa yang akan mematuknya, dan dia tidak mengetahuinya.”
Satu hal yang perlu juga kita pahami bersama adalah bahwa perbedaan mahzab tersebut hanya sebatas pada masalah-masalah cabang yang hukumnya sumir (furu’iyyah) namun untuk masalah utama adalah hal yang qath’i (jelas).
4. Penyimpangan Penafsiran Undang-Undang
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan khususnya KUHP dan UU Media Massa, selalu termuat unsur kesopanan, kesusilaan, dan norma agama.
Namun ironisnya, beberapa ahli hukum dan sosial budaya serta penegak hukum tidak mengindahkan norma agama sebagai salah satu unsur dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana kesusilaan khususnya pornografi dan pornoaksi.
Moh. Mahfud MD mengemukakan, Sistem hukum nasional adalah sistem yang bukan berdasarkan agama tertentu, tetapi memberi tempat kepada agama-agama yang dianut oleh rakyat untuk menjadi sumber hukum atau memberi bahan terhadap produk hukum nasional. Hukum agama sebagai sumber hukum materiil (sumber bahan hukum) dan bukan menjadi sumber hukum formal (dalam bentuk tertentu sebagai peraturan perundang-undangan).
Posisi syariat Islam (hukum Islam) dalam tata hukum nasional merupakan sumber hukum materiil yang dapat digabung dengan sumber hukum-hukum lainnya kecuali untuk hal-hal yang sifatnya pelayanan dalam hal-hal terkait dengan peribatan yang mahdhah seperti penyelenggaraan haji, zakat dan sebagainya. Negara tidak dapat mewajibkan berlakunya hukum agama tertentu, tetapi negara wajib melayani dan melindungi secara hukum bagi mereka yang ingin melaksanakan ajaran agamanya dengan kesadarannya sendiri.
Era reformasi, hukum mengalami perkembangan pesat. Berbagai peratuaran perundang-undangan dibuat untuk menggantikan peraturan lama yang dipandang tidak sesuai dengan perkembangan, khususnya terkait perlindungan terhadap HAM, hak konstitusional warga negara, serta iklim demokrasi. Perkembangan tersebut mempengaruhi politik hukum Islam dalam tata hukum nasional. Beberapa perkembangan tersebut memperkuat kedudukan hukum Islam sebagai Hukum materiil. Diantaranya pemberian wewenang kepada daerah untuk membuat peratuaran peratuaran daerah, sejak UU No. 22 tahun 1999 yang materinya dapat bersumberkan dari hukum agama. UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang membolehkan dibuatnya Hukum Pidana Islam. Kemudian terakhir UU no 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
E. KESIMPULAN
Politik hukum secara etimologi adalah kebijakan hukum, adapun kebijakan sendiri dalam kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rangkaian, konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam melaksanakan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. Dengan kata lain politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksaaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam bidang hukum. Secara terminologi politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia. Legal policy ini terdiri dari pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan.
Hukum Islam berarti seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rosul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua manusia yang beragama Islam dan muatan yang terdapat dalam hukum Islam mampu menyelesaikan segala persoalan dalam masyarakat yang tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun yang lalu. Hukum ini dapat memenuhi aspirasi masyarakat bukan hanya masa kini tetapi juga dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam mengganti pertumbuhan ekonomi, politik dan sosial sekarang maupun yang akan datang.
Untuk mensyar’ikan peraturan perundang-undangan, Pertama UUD 1945 hasil amandemen, khususnya pasal-pasal mengenai hak asasi manusia, UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Saat ini semua produk hukum di Indonesia harus memperhatikan HAM, kesetaraan gender dan anti diskriminasi, Hal kedua nilai yuridis keagamaan,. terakhir ialah nilai sosiologis.
Upaya tersebut tidaklah mudah, masih kuatnya pengaruh Teori Receptie dan beberapa faktor lain : Perubahan Nilai-Nilai Dalam Masyarakat, Pemahaman Yang Keliru Terhadap Hukum Islam, Perbedaan Mahzab di Dalam Islam dan Penyimpangan Penafsiran Undang-Undang menghambat perkembangan Hukum Islam.
Posisi syariat Islam (hukum Islam) dalam tata hukum nasional merupakan sumber hukum materiil yang dapat digabung dengan sumber hukum-hukum lainnya kecuali untuk hal-hal yang sifatnya pelayanan dalam hal-hal terkait dengan peribatan yang mahdhah seperti penyelenggaraan haji, zakat dan sebagainya. Negara tidak dapat mewajibkan berlakunya hukum agama tertentu, tetapi negara wajib melayani dan melindungi secara hukum bagi mereka yang ingin melaksanakan ajaran agamanya dengan kesadarannya sendiri





DAFTAR PUSTAKA
Appeldoorn, LJ. Van., Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo), (Jakarta: Pradnya Paramitha), 1981.
Hartono, Sunaryati, Prof., Dr., CFG., SH, Politik Hukum menuju Satu sistem Hukum Nasional, (Bandung : Alumni) 1991.
Kairsy, David . The Politics of Law, A Progressive Critique, (New York: Pantheon Books,) 1990
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Islam
Mahfud, Moh. MD,. Prof.,Dr., Politik Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Varia Peradilan majalah Hukum Tahun XXV no. 290 Januari 2010 (Ikahi : Jakarta)
Manan, Abdul,Prof., Dr., SH. SIP., M.Hum., Hukum Islam Persoalan Masa Kini dan Harapan Masa Depan dalam Bingkai Pluralisme Bangsa, Jurnal Mimbar Hukum, edisi No. 72, 2010, PPHIMM
Marbun, Rocky, MH., Faktor Penghambat Dalam Menerapkan Konsep Hukum Pidana Islam Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pornografi, http://forumduniahukum.blogspot.com/2010/11/faktor-penghambat-dalam-menerapkan.html.
Radhie, Teuku Muhammad dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember 1973.
Rajagukguk, Erman., Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme, Disampaikan pada Diskusi Panel dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandungke-37, 2 April 2005.
Syaukani, Imam dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, (Jakarta :Raja Grafindo), 2008.
Tambunan, A.S.S., Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Puporis Publishers,) 2002.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Zamzami Mukhtar, Drs. H., SH., MH., Jalan Berliku Mensyar’ikan Undang-Undang, Badilag.net, Senin, 24 Januari 2011 10:39

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites